Cinta dan Robot
“Mungkinkah robot mencintai?”, Shadi
bertanya pada Tristan.
“Mungkinkah manusia mencintai?” Tristan bertanya balik ke Shadi
“Akh kalau itu pasti jelas bisa, orang banyak yang muncul tulisan tentang cinta yang dibuat oleh manusia, kajian dan pembahasan, walau sebagaimanapun framework untuk mendekati cinta, hanya sang pecinta yang bisa mengerti cinta, begitulah kata Heidegger.”
“Apakah robot bisa menciptakan seni?”
“Hmm”
“Apakah kau setuju bahwa robot adalah seni?”
“Kalau itu sih aku setuju, kan robot diciptakan manusia.”, jawab Shadi
“Lalu menurutmu bagaimana framework yang kau berikan bisa mendekati cinta?”
“Kalau itu framework yang paling dekat untuk mendekati cinta adalah Tuhan, karena cinta datang begitu saja, entah dari mana, mungkin itu sesuatu yang lebih divine atau ilahiat, sebuah methode untuk bertemu dengan Tuhannya.”
“Lalu methode apa yang paling mendekati untuk bertemu Tuhan, yang dijelasakan dalam cinta?”
“Seni.”
“Jadi mungkin seluruh seni akan menghasilkan seni, tapi bagaimana cara kita memandang itu sebagai sebuah seni. Seni akan muncul pada yang berada disana, walaupun dalam keadaan reflektif itu berada dalam kerangka pengamat, tapi itu menjelaskan bahwa seni tergantung bagaimana sang Ada disana.”
“Oh berarti seni itu bergantung pada sang penafsir.”
“Iya, begitu juga cinta, dia hanya bisa teramati dari interpretasinya sebagai sang Cinta atau sebagai sang Seni.”
“Jadi, mungkin dong robot bisa mencintai?”
“Hmmm aku tidak tahu. Semua bergantung pada penyingkapan kepada yang Ada disana, dasein”, Tristan mengakhiri.
“Mungkinkah manusia mencintai?” Tristan bertanya balik ke Shadi
“Akh kalau itu pasti jelas bisa, orang banyak yang muncul tulisan tentang cinta yang dibuat oleh manusia, kajian dan pembahasan, walau sebagaimanapun framework untuk mendekati cinta, hanya sang pecinta yang bisa mengerti cinta, begitulah kata Heidegger.”
“Apakah robot bisa menciptakan seni?”
“Hmm”
“Apakah kau setuju bahwa robot adalah seni?”
“Kalau itu sih aku setuju, kan robot diciptakan manusia.”, jawab Shadi
“Lalu menurutmu bagaimana framework yang kau berikan bisa mendekati cinta?”
“Kalau itu framework yang paling dekat untuk mendekati cinta adalah Tuhan, karena cinta datang begitu saja, entah dari mana, mungkin itu sesuatu yang lebih divine atau ilahiat, sebuah methode untuk bertemu dengan Tuhannya.”
“Lalu methode apa yang paling mendekati untuk bertemu Tuhan, yang dijelasakan dalam cinta?”
“Seni.”
“Jadi mungkin seluruh seni akan menghasilkan seni, tapi bagaimana cara kita memandang itu sebagai sebuah seni. Seni akan muncul pada yang berada disana, walaupun dalam keadaan reflektif itu berada dalam kerangka pengamat, tapi itu menjelaskan bahwa seni tergantung bagaimana sang Ada disana.”
“Oh berarti seni itu bergantung pada sang penafsir.”
“Iya, begitu juga cinta, dia hanya bisa teramati dari interpretasinya sebagai sang Cinta atau sebagai sang Seni.”
“Jadi, mungkin dong robot bisa mencintai?”
“Hmmm aku tidak tahu. Semua bergantung pada penyingkapan kepada yang Ada disana, dasein”, Tristan mengakhiri.
Comments
Post a Comment