Ngoprek dengan Buku
Tak hanya kehidupan yang absurd, menurut Albert Camus. Tapi ngoprek juga absurd, untuk itu terkadang kita kehilangan fokus ketika kita baru belajar untuk ngoprek, mengambil mata kuliah tertentu untuk ngoprek bisa menjadi solusi, tapi jika sudah tidak ada kuliah lagi lalu bagaimana kita akan mengoprek. Seperti halnya kolam nihilis yang dijelaskan Nietzsche, lulus juga berarti kita masuk kedalam kapal nihilisme baru, tanpa pembimbing tanpa penunjuk arah hingga kita bertanya pada diri sendiri saya mau kemana? Tapi disitulah awal mula seorang Ubermansh, ketika dia dituntut untuk menjalankan kapal nihilismenya untuk diarahkan kemana, dia akan menentukan takdirnya sendiri, kecemasan karena tidak ada yang tahu mana yang bisa dipercaya, sebuah kegelapan yang akan mencerahkan dirinya bahwa sebuah keputusan dia ambil untuk menyikapi dirinya dan masa depan dirinya, hingga saat itu dia menyadari kita telah membakar jembatan itu dan tidak bisa kembali untuk mengambil mata kuliah TPB itu.
Lalu mengapa buku menjadi berguna disini, Nietzsche pernah berkata, “Kebodohan paling umum yang sering dilakukan oleh orang adalah melupakan tujuan.”, sebuah sistematika akan menjadi absurd ketika kita tidak memiliki tujuan, walaupun tidak memiliki tujuan juga merupakan sebuah sikap nihilisme, dalam kasus ini adalah nihilisme pasif, tapi kali ini Ubermansh aktif akan terus menata diri untuk mencapai tujuannya, layaknya anak yang bertujuan untuk mendapatkan eskrim dia terus bergerak dan berjalan. Hingga dia harus mengafirmasi segalanya untuk bisa membangun masa depannya, masa depan yang dibangun oleh kehendaknya untuk berkuasa pada tujuannya. Seorang anak kecil yang terus bergerak, dia aktif dan menjadi ubermansh.
Dengan buku kita akan ngoprek dengan sistematis seperti yang dibangun oleh kerangka buku tersebut. Derrida juga pernah berujar bahwa membaca adalah salah satu cara manusia untuk bereksistensi, dengan eksistensi kita akan mengejawantahkannya dalam bentuk sikap yang akan membangun masa depan, kata Heidegger. Kita akan berada dalam teks, lalu membangun masa depan kita bersama teks yang kita baca.
Zuhandene merupakan alat, dia kepanjangan dari tangan. Zuhandene juga merupakan seni, ketika kita menilai tangan kita dia memiliki struktur jari, struktur tulang, struktur lengan, struktur lainnya. Tangan sangat artistik, tapi seperti kata Nietzsche, bahwa seni memiliki kelas, dan kelas tergantung pada kedalaman dia diciptakan. Arsitektur memberikan kelas bagi para sang pencipta alat begitulah engineer dinilai dari ciptaannya. Engineer membutuhkan waktu dan sistematika yang baik untuk mencapai kedalaman yang mumpuni. Mungkin benar kata ibnu Athailah dalam kitab al-Hikam, “Idfin wujudaka fil ardil khumuli fama nabata mima la yudfan la yatimu nata ijuhu”, bahwa tidak akan tumbuh suatu tanaman jika itu tidak ditanam ditanah yang dalam.
Buku merupakan interpretasi penulis, dan membaca merupakan interpretasi pembaca. Kita akan masuk dalam eksistensi seorang penulis, semakin berkualitas sebuah buku, kita akan masuk ke dalam eksistensi yang berkualitas pula. Dan mungkin seperti itu pengetahuan akan berkembang, sebuah warisan dari seorang penulis menuju tangan seorang pembaca, untuk itu ngopreklah dengan membaca buku. Teks mengantarkan pembaca menuju sistematika pemikiran seorang penulis buku, dan dengan begitu kita bisa meraba masadepan yang lebih deterministik ketimbang kita ngoprek absurb dengan tidak membaca buku, mengingat kata Nietzsche tadi bahwa kebodohan orang yang paling umum adalah melupakan tujuannya, bukan karena Nietzsche ingin memaksa orang menjadi deterministik dan anti absurd, tapi untuk mencegah ubermansch menjadi seorang nihilis pasif, Ubermansh adalah seorang nihilis aktif, selain juga sebuah metode untuk ubermansh untuk mempermudah amor-fati-nya. Ngopreklah dengan membaca buku, karena itu akan mempermudah Engineer untuk mencintai hidup.
Comments
Post a Comment