Membaca Soekarno #2
Indonesia kian melarat karena nilai pertumbuhan pendudunya selalu positif. Ini menimbulkan beragam krisis di Indonesia. Soekarno telah menyadari ini sejak dahulu. Ada gempuran modal dari asing yang mencoba untuk menyelamatkan krisis ini. Sebagai post-moderinsme komunisme dinilai kurang mumpuni untuk mengatasi krisis ini. Infrastruktrur yang dibangun justru mengurangi lahan produktif seperti pangan. Lalu solusi apa yang perlu dilakukan, Jika memang krisis itu terjadi mengapa ada orang yang berlebih makanan contoh seperti penjual makanan yang tidak habis terjual. Masalah ini sebenarnya tidak bisa diselesaikan dengan mengakar dengan pandangan KM apalagi David Ricardo.
Pandangan yang paling cocok untuk mengatasi jumlah yang selalu positif sebenarnya muncul dari Jurgen Habermas. Dengan melihat bahwa setiap manusia memiliki potensi, yang terejawantahkan dalam Suprastruktur kesadaran. Pembangunan sumber daya manusia lebih menjanjikan dari pada pembangunan di sektor eknomi menenginat jika dalam perdagangan terdapat untung rugi. Kita mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain pada pembangunan Sumber Daya Manusia, kita melihat bahwa manusia itu seperti tanaman.
Menjadi manusia berdaulat alias manusia merdeka menunjukan bahwa tanam tersebut tidak perlu disiram lagi atau mendapatkan perawatan hama. Dia akan tumbuh seenaknya. Iya awalnya kita menentukan tanaman apa yang perlu kita tanam dan membereskan masalah masalah. Tapi seiring waktu tumbuhan akan beranjak dewasa. Untungnya manusia lebih memliki beragam potensi. Bonus demografi bisa menjadi keuntungan.
Walaupun pandangan ini juga mendukung pandangan David Ricardo misalkan kita harus menanam pohon tertentu untuk bisa dimanfaatkan. Tapi pandangan Ricardo yang tidak terlepas untuk buta pohon seperti apa yang harus ditanam. Misal opium yang bernilai mahal, seperti itu analoginya.
Pergerakan akan terus tumbuh ketika tidak ditindas dan akan tumbuh ketika di tindas. Pandangan Sukarno ini sepertinya setuju akan pandangan Hegel yang menunjukan bahwa Roh Sejarah akan terus meunju kedawasaan. Mungkin terlalu dini untuk kita samakan dengan Nietzsche yang berujar bahwa "Sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku menjadi lebih kuat."
Comments
Post a Comment