Mentirakati Kerja
Das Kapital mengkritik sikap penumpukan uang yang berlebihan pada satu titik. Sebeneranya bukan hanya penumpukan uang berlebihan tapi penumpukan uang itu sendiri. Tapi dengan uang yang dibagi rata untuk semua orang tidak akan selamanya uang itu akan memberikan kemasyalahatan pada setiap masyarakat. Bahkan mungkin bisa jadi menaikkan kriminalitas karena sikap tidak siap pada uang itu sendiri. Benarkah hal tersebut? Apakah uang sejatinya merupakan surat kuasa yang menunjukan bahwa diri kita berkuasa. Beberapa penjelasan akan dimulai.
Goerge Simmel menjelaskan dalam Philosophie der Gelden bahwa uang adalah kebebasan. Ketika kita memberikan sejumlah uang kepada anak kita, kita akan melihat bahwa mereka diberi kebebasan untuk membeli barang, dengan barang yang mereka beli akan menentukan kesadaran yang akan dibentuk oleh diri mereka. Uang erat sekali dengan kekuasaan ketika kita berbicara tentang kebebasan.
Sebenarnya bagaimana Ekonomi itu terbentuk? Mengapa kita terlalu terburu buru untuk mengaitkan ekonomi dengan uang. Apakah ilmu tata rumah tangga itu melulu tentang uang? Lalu mengapa Das Kapital justru mengkritik uang itu sendiri, walau tidak sepenuhnya mengkritik (Karl Marx juga menuliskan bahwa emas adalah bentuk keadilan). Kritik yang diangkat dari Marx difungsikan untuk menjernihkan kembali tentang tata rumah tangga yang sebenarnya adalah kerja itu sendiri.
Iya kita ambil simple saja, kita bekerja untuk mendapatkan uang. Tapi sebenarnya ada juga yang menuliskan biarkan uang yang mengejar kita. Kalimat ini mungkin cukup menarik karena premis pertama digunakan menggukan kerja sebagai menarik uang yang kedua membiarkan sendiri uang itu datang. Lalu bagaimana dengan pandangan para Sufi tentang gemerlapnya dunia ?
Kerja itu wajib, tapi rezeki itu sudah ada yang mengatur, mungkin itu ucapan dari para kiyai untuk tidak terlalu memikirkan masalah uang. Kiyai sudah menunjukan sikapnya pada anti kapitalisme, yang jelas anti riba. Lalu bagaimana sikap kita seharusnya bekerja? Kita beranjak dari penjelasan dari Nietzsche bahwa kerja yang tidak dihayati tidak layak untuk dijalani. Kiyai pun sepertinya setuju dengan pendapat dari Nietzsche tersebut. Tapi Kiyai pasti menyarankan methode yang lebih lembut (selembut mata itu haiyaiya iya), atau dengan dalil kitab. Kalau saya Kiayinya paling akan menggunakan argument dari Ibnu Athailah Sakandari dalam kitab Al Hikam, idfin wujudaka fil ardil Khumuli fa ma nabatamima la yudfan latimu nata ijuhu, artinya tanamlah wujudmu di tanah yang dalam karena tidak akan tumbuh dengan baik jika anda tidak di tanam yang dalam. Merendah untuk meroket, Humble bragging? jelas tidak. Maksudnya setiap kerja harus kita lakukan sebagai methode untuk suluk, (perjalanan spiritual) jadi bukan hanya kerja asal kerja tapi kerja yang relijius, kerja yang memiliki mendidik mental kita dalam melakukan pekerjaan itu sendiri.
Mungkin pandangan dari Kiyai kurang bisa dijabarkan secara akademis. Kita akan mencoba meminjam analisa dari Jhon D. Caputo murid Derrida dan Gillez Deleuze tentang pengulangan dan dekonstruksi. Dalam keadaan yang larut dalam pekerjaan kita terkadang kelarutan kita adalah bentuk eksistensialisme tapi juga bisa menjadi sebuah sikap alienasi, tindakan pengasingan diri agar kita bisa dibayar. Memang kerja yang bagus adalah kerja sebagai methode untuk bereksistensi, methode untuk mencintai hidup, karena dengan sikap itu kita melatih batin kita untuk bisa memaknai tiap hal yang kita lakukan, makna dalam artian yang prareflektif bukan sekadar gosip kita setelah kita kerja. Tapi sikap kita yang terus melatih diri dan mengintrepretasikan dalam karya yang kian berkualitas.
Lalu apakah benar kita membutuhkan waktu dalam bekerja? Iya kalau kita bahwa waktu dalam kerangka Heidegger mungkin kita harus mampu menjadikan kerja sebagai proses eksistensialisasi. Tapi seperti kata gurunya Heidegger kita hanya akan bisa memahami itu eksis atau tidak tergantung yang Eksis itu sendiri. Sayangnya itu berada dalam kondiri prareflektif, itu bisa disadari tapi tidak bisa kita sampaikan, seperti kata Francis Clementine Bretano (Gurunya Heidegger) “Sejauh apapun framework untuk mendekati makna ada kita tidak akan bisa sampai pada makna ada itu sendiri.” Tapi ketika kita tidak bisa belajar sepeda dalam waktu satu minggu mungkin kita bisa melakukannya dalam waktu 1 bulan jika kita giat berlatih. Sebenarnya jumlah atau intensitas kita berlatih adalah methode untuk melatih kualitas kita. Orang sama yang belajar 2 tahun akan memperoleh kualitas pelajaran yang lebih bagus dari pada orang yang belajar hanya 1 tahun. Tapi sebenarnya tidak semua orang sama ada yang perlu 10 tahun belajar ada juga yang cukup belajar satu malam. Kesadaran macam itu lah yang didapat begitu saja, tapi sebagai manusia (seperti yang dikatakan Kiyai) kita berkewajiban untuk berusaha tapi hasil adalah Tuhan yang menentukan. Akh sebernarnya saya ingin menjelaskan bahwa kualitas ditentukan oleh kuantitas seperti apa yang dikatakan George Wilhelm Fredrich Hegel. Atau seperti yang saya sebut dalam awal paragraf teks ini, bahwa hanya yang sampai mempelajari itu secara mendalam yang akan mendapatkan kualitas yang tinggi, dan terus-menerus berlatih adalah methode untuk memperdalam diri kita. Kerja bukan sekadar untuk tujuan akibat untuk uang, tapi juga methode untuk melakukan perjalanan batin, begitulah kerja ditirakati.
Comments
Post a Comment